Konsekuensi kalimat tauhid, laa ilaha illallah adalah seseorang harus meninggalkan kesyirikan, walau itu jadi tradisi dan ritual masyarakatnya. Karena Allah mesti diagungkan dengan ibadah hanya ditujukan pada Allah saja. Orang-orang musyrik dahulu -semacam Abu Jahl dan Abu Lahab- sebenarnya paham akan makna dan konsekuensi laa ilaha illallah, makanya mereka enggan mengucapkan kalimat mulia tersebut. Sehingga jika seorang muslim tidak memahami kalimat tersebut dan tidak paham konsekuensinya, maka sebenarnya ia lebih jelek dari Abu Jahl. Wallahul musta’an.
Ada pelajaran menarik yang kami peroleh dari penjelasan Syaikh Muhammad At Tamimi dalam kitab beliau “Kitab Tauhid alladzi Haqqullah ‘alal ‘Abiid”. Dalam kita tersebut ketika beliau membawakan dalam bab “innaka laa tahdii man ahbabta” (engkau -Ya Muhammad- tidak dapat memberi petunjuk pada orang yang kau cintai), maka beliau membawakan kisah Abu Tholib menjelang pamannya ini meninggal dunia.
Dari Ibnul Musayyib, dari ayahnya, ia berkata, “Ketika menjelang Abu Tholib (paman Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-) meninggal dunia, Rasulullah shallallallahu ‘alaihi wa sallam menemuinya. Ketika itu di sisi Abu Tholib terdapat ‘Abdullah bin Abu Umayyah dan Abu Jahl. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada pamannya ketika itu,
أَىْ عَمِّ ، قُلْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ . كَلِمَةً أُحَاجُّ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ
“Wahai pamanku, katakanlah ‘laa ilaha illalah’ yaitu kalimat yang aku nanti bisa beralasan di hadapan Allah (kelak).”
Abu Jahl dan ‘Abdullah bin Umayyah berkata,
يَا أَبَا طَالِبٍ ، تَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ
“Wahai Abu Tholib, apakah engkau tidak suka pada agamanya Abdul Muthollib?” Mereka berdua terus mengucapkan seperti itu, namun kalimat terakhir yang diucapkan Abu Tholib adalah ia berada di atas ajaran Abdul Muttholib.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mengatakan :
لأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ عَنْهُ
“Sungguh aku akan memohonkan ampun bagimu wahai pamanku, selama aku tidak dilarang oleh Allah”
Kemudian turunlah ayat,
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
“Tidak pantas bagi seorang Nabi dan bagi orang-orang yang beriman, mereka memintakan ampun bagi orang-orang yang musyrik, meskipun mereka memiliki hubungan kekerabatan, setelah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahanam” (QS. At Taubah: 113)
Allah Ta’ala pun menurunkan ayat,
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ
“Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak bisa memberikan hidayah (ilham dan taufiq) kepada orang-orang yang engkau cintai” (QS. Al Qosshosh: 56) [HR. Bukhari no. 3884]
Ada pelajaran penting dari kisah tersebut, lihatlah bahwa Abu Tholib enggan mengucapkan kalimat laa ilaha illlah karena ia paham dan tahu konsekuensinya. Ditambah lagi Abu Jahl dan Abdullah bin Abi Umayyah terus membujuknya. Maka ini menunjukkan bahwa mereka yang musyrik saja tahu makna dan konsekuensinya. Konsekuensi kalimat tersebut adalah harus meninggalkan tradisi kesyirikan. Jadinya, benarlah kata Syaikh Muhammad At Tamimi,
فقبح الله مَن أبو جهل أعلم منه بأصل الإسلام
“Semoga Allah menjelekkan orang yang di mana Abu Jahl masih lebih tahu mengenai dasar Islam daripada dirinya” (Kitab Tauhid, hal. 73). Artinya, jika ada yang tidak paham tauhid dan tidak tahu konsekuensinya, maka ia berarti lebih jelek dari Abu Jahl.
Ini menunjukkan kita harus lebih mendalami tauhid dan mengkaji syirik serta memahami benar-benar konsekuensi kalimat laa ilaha illallah, jangan sampai kalah dari Abu Jahl.
Semoga Allah menunjuki kita pada ilmu dan pemahaman Islam yang benar, serta diteguhkan pula di atas Tauhid dan Sunnah.
Referensi:
Kitab Tauhid, Muhammad bin Sulaiman At Tamimi, tahqiq: Syaikh ‘Abdul Qodir Al Arnauth, terbitan Darus Salam.
@ Sakan 27, Jami’ah Malik Su’ud-Riyadh, KSA, 2 Shafar 1434 H